Tuesday, October 7, 2014

Want to help someone?


 Ernesto Sirolli: Want to help someone? Shut up and listen!



What we do, we work one-on-one, and to work one-on-one, you have to create a social infrastructure that doesn't exist. You have to create a new profession. The profession is the family doctor of enterprise,the family doctor of business, who sits with you in your house, at your kitchen table, at the cafe, and helps you find the resources to transform your passion into a way to make a living.


Saturday, October 4, 2014

Ada Apa Dengan Perikanan Indonesia?



Katanya Indonesia punya wilayah laut yang luas, penduduk mayoritas nelayan dan uniknya ada instansi yang bertanggung jawab mengelola perikanan Indonesia. Tapi hingga kini, jika berpikir tentang nelayan yang tergambar hanyalah kemiskinan. Indonesia yang memiliki beribu jenis ikan. Anehnya, menurut data pusat kajian kelautan dan peradaban maritime (PK2PM) sampai tahun 2011 lalu ada beberapa spesies ikan seperti sardine, mackerel, dan lain-lain menduduki posisi impor tertinggi. Tidak hanya sumber daya yang dikandung oleh laut, bahkan lautnyapun tidak dapat diolah dengan optimal. Konon katanya garam yang dikonsumsi masyarakat Indonesia tidak seutuhnya produk Indonesia.

Menurut sumber dari Detik Finance September lalu, pada tahun terakhir, Indonesia berhasil mengimpor garam konsumsi hingga 495.000 ton. Belum lama mendengar PLH Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Gunaryo mengungkapkan (14/09/12), “Tahun 2012 dilakukan perhitungan (kebutuhan), garam untuk konsumsi sebesar 1,4 juta ton sedangkan garam industri 1,8 juta ton. Khusus tahun ini kita telah hitung, melalui usulan dari Dirjen Manufaktur Kemenperin, setelah dihitung kita masih butuh 533.000 ton garam konsumsi dan itu dengan impor.” Ah, sumberdaya perikanan yang ada hanyalah pajangan yang indah.

Belum selesai pada tahapan “prestasi” (hal yang di gembar-gemborkan pers), kebijakan perikanan Indonesia layaknya puzzle. Kadang dibongkar dan kadang dipasang. Berganti menteri, berganti kebijakan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan tak dapat dianalisis dengan jelas karena belum selesai dijalankan, muncul kebijakan baru yang menurut pemerintah “baru” lebih baik dan lebih tepat diterapkan. Apa sektor perikanan Indonesia hanya sampai pada taraf percobaan?

Akhirnya penduduk Indonesia kurang merasakan manfaat perikanan dalam hidupnya. Sumber daya perikanan dirasa tidak penting dan tidak dihiraukan keberadaannya. Menurut catatan harian Kompas baru-baru ini (3/9/12), lahan mangrove di Jakarta mengalami penyusutan besar-besaran yakni dari 1134. ha (hectare) pada tahun 1960 dan sekarang hanya tinggal 45 ha yang digunakan untuk lapangan golf, kawasan perumahan dan fasilitas sekunder lainnya. Ditambah lagi dengan pencurian ikan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Ada apa dengan perikanan Indonesia, apakah perikanan Indonesia sedang berada di ujung jalan?

---

Penulis: Mohammad Ali Fatha Seknun
Anak timur yang besar di pesisir, penggiat Forum Kajian Perikanan UGM

Mengurai Akar Kemiskinan Nelayan

"Ketertinggalan daerah satelit diakibatkan oleh ketidakpedulian negara dan atau pemerintah pusat sehingga penduduk di pedesaan dibiarkan dengan permasalahannya sendiri." (K.P. Clements, dalam Sabian, 2005: 44)

Harian Kompas (22/11) merilis ribuan komunitas nelayan, petambak, dan lembaga swadaya masyarakat berunjuk rasa di Jakarta, Indramayu (Jawa Barat), Jepara (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Langkat (Sumatera), Bau-Bau (Sulawesi Tenggara) dan Manado (Sulawesi Utara) dalam rangka peringatan Hari Perikanan Sedunia yang jatuh pada 21 November. Mereka, antara lain, mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak dan menyejahterakan pelaku perikanan di Indonesia. “Sejahtera itu hak!” tuntut mereka kepada petinggi Negeri Bahari ini.

Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, laut ternyata belum mampu menyejahterakan. Nelayan Indonesia masih tergolong ke dalam kelompok masyarakat paling miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS[1]. Kondisi nelayan yang miskin saat ini bukan hanya terletak pada persoalan teknologi alat tangkap, ketersediaan sumberdaya dan pemerataan wilayah penangkapan, namun ada faktor lain yang menjadi perangkap dalam kebiasaan yang terpola lama dalam kehidupan masyarakat nelayan.

Perangkap Pranata Sosial

Masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat pada umumnya. Pendapat ini didasarkan pada realitas sosial bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan ini menjadi refrensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata sosial ekonomi tersebut dipandang bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan struktural di kalangan masyarakat nelayan (lihat Masyhuri, 1999)[2].

Keberadaan kedua pranata tersebut terbentuk karena kebutuhan kontekstual atau pilihan rasional masyarakat nelayan. Mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari bahwa sistem pembagian hasil atau pemasaran hasil tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang perantara (tengkulak) memperoleh keuntungan yang lebih besar dari kegiatan tersebut, dipandang sebagai kewajaran. Pembagian tersebut dianggap sesuai dengan kontribusi, biaya, dan risiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikian terbentuk karena faktor keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan nelayan. Kalaupun diantara mereka ada yang mengeluh, mereka tidak cukup daya untuk mengubah pranata tersebut agar lebih memihak pada kepentingan nelayan, khususnya nelayan buruh.

Struktur sosial budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas memiliki kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan sosial ekonomi secara umum dalam kehidupan masyarakat nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas adalah para pemilik perahu dan pedagang ikan yang sukses; lapisan tengah ditempati juragan atau pemimpin awak perahu; lapisan terbawah ditempati nelayan buruh. Mereka yang menempati lapisan atas hanya sebagian kecil dari masyarakat nelayan, sedangkan sebagian besar warga masyarakat nelayan berada pada lapisan terbawah. Pelapisan sosial ekonomi ini mencerminkan bahwa penguasaaan alat-alat produksi perikanan, akses modal, dan akses pasar hanya menjadi milik sebagian kecil masyarakat, yaitu mereka yang berada pada lapisan atas. Keadaan ini sangat potensial untuk melestarikan kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat nelayan dan mewariskannya dari generasi ke generasi.

Peran Perempuan

Mobilitas vertikal nelayan dapat terjadi berkat dukungan para istri mereka yang memiliki kecakapan berdagang (lihat Kusnadi, 2001 dan Suadi, 2012)[3]. Keterlibatan istri dalam kegiatan perdagangan sangat terbuka lebar karena sistem pembagian kerja secara seksual memungkinkannya dan sesuai dengan situasi geososial masyarakat nelayan. Dalam sistem pembagian kerja ini, nelayan bertanggung jawab terhadap urusan menangkap ikan (ranah laut), sedangkan kaum perempuan bertanggung jawab terhadap urusan domestik dan publik (ranah darat).

Sistem pembagian kerja yang telah memberikan tempat layak bagi istri nelayan dalam mengatasi persoalan kehidupan di ranah darat, merupakan “katup pengaman” untuk mengantisipasi pranata-pranata sosial ekonomi yang “dianggap pihak lain” merugikan kehidupan nelayan. Kaum perempuan terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk ––seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, dan simpan pinjam–– serta jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.

Kaum perempuan di desa-desa nelayan tidak sekedar membantu suami mencari nafkah, tetapi mereka sangat menentukan kelangsungan hidup keluarga. Dari sisi tanggung jawab sosial ekonomi keluarga ini, suami dan istri nelayan berposisi sejajar. Kaum perempuan dan pranata-pranata sosial yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan ekonomi lainnya.

Diversifikasi Sumber Pendapatan

Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah tingginya ketergantungan terhadap penangkapan. Faktor-faktor ketergantungan ini sangat beragam. Akan tetapi, jika ketergantungan itu terjadi di tengah-tengah masih tersedianya pekerjaan lain di luar sektor perikanan, tentu hal ini mengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi yang ada. Keragaman sumber pendapatan sangat membantu kemampuan nelayan dalam beradaptasi terhadap kemiskinan. Nelayan terkadang kurang menyadari bahwa kondisi ekosistem perairan mudah berubah setiap saat, sehingga dapat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.

Disamping itu, rendahnya keterampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan keterikatan yang kuat terhadap pengoperasian satu jenis alat tangkap turut memberikan kontribusi terhadap timbulnya kemiskinan nelayan. Karena terikat pada satu jenis alat tangkap dan untuk menangkap jenis ikan tertentu maka ketika sedang tidak musim jenis ikan tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak. Dengan demikian, diversifikasi penangkapan sangat diperlukan untuk membantu nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Pranata yang terbentuk pada masyarakat pesisir Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menjadi model diversifikasi sumber pendapatan. Selain menangkap ikan, nelayan juga bertani dan beternak sehingga ketika musim paceklik terjadi, mereka tidak kehilangan sumber pendapatan.

Kepemilikan peralatan penangkapan ikan secara kolektif yang dikelola melalui paguyuban istri nelayan telah membantu meningkatkan pendapatan nelayan, distribusi pendapatan relatif merata, sehingga mobilitas vertikal nelayan dapat diraih secara bertahap. Selain itu para perempuan juga mengolah dan memasarkan hasil tangkapan ikan sehingga nelayan tidak terlalu bergantung pada tengkulak.

Identifikasi terhadap kasus-kasus di atas sekurang-kurangnya dapat menjadi bahan perumusan kebijakan pemberdayaan nelayan. Artinya, kebijakan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan hanya dapat dilakukan jika gagasan tersebut dapat mengakar pada basis sosial budaya masyarakat nelayan, atau dengan memperhatikan secara saksama karakteristik budaya yang mendasari pranata penangkapan nelayan. Jika tidak, kebijakan tersebut tidak akan terlaksana dengan baik, sehingga perubahan sosial budaya yang diharapkan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Selamat Hari Perikanan Sedunia!




[1] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Februari. Katalog BPS: 3101015. Jakarta.
[2] Masyhuri. 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaah terhadap Sebuah Pendekatan. Jakarta: PEP-LIPI, hlm. 15-34.
[3] Kusnadi. 2001. Pangamba’ Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: PT Humaniora Utama Press.
Suadi. 2012. Wanita Nelayan: Antara Peran Domestik dan Produktif. Artikel Kajian Perikanan, 27 September.
___

Artikel ini pernah dimuat di Media Patriot Indonesia, Edisi 1-15 Desember 2013. Selamat Hari Nelayan 6 April 2014

Penulis: Andhika Rakhmanda, Direktur Eksekutif dan Riset Forum Kajian Perikanan.
http://www.kajianperikanan.com/2014/04/mengurai-akar-kemiskinan-nelayan.html

Friday, October 3, 2014

Peran Wanita Nelayan

Wanita Nelayan : Antara Peran Domestik dan Produktif




Orientasi pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan di Selatan Jawa akhir-akhir ini semakin gencar dikumandangkan. Daerah-daerah yang masyarakatnya secara historis tidak memiliki akar sejarah yang kuat dalam menggantungkan hidup mereka dari hasil laut juga berlomba-lomba mengeluarkan anggaran daerahnya untuk pengembangan wilayah pesisir. Hal ini nampak dari rencana pembangunan pelabuhan baik di Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Purworejo, Kebumen, dan daerah-daerah lainnya. Kondisi semacam ini sangat positif jika masing-masing daerah dapat berbagi peran dengan baik, sehingga dengan dukungan tersebut pembangunan pesisir akan memiliki sokongan yang kuat menuju keberhasilan.

Wanita merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisinya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program-program pembangunan pesisir mereka tidak banyak tersentuh. Ketika berbicara tentang nelayan yang terlintas dalam pikiran adalah kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Pikiran demikianlah yang mendorong lahirnya program pembangunan perikanan yang bias gender seperti nampak pada berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya kita, wanita telah lama dikonstruksi secara sosial maupun budaya untuk menjadi ”kanca wingking” yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (1994) geraknyapun dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Sehingga artikulasi peran wanita nelayan dalam kehidupan sosial dan budaya di pesisir menjadi kurang atau tidak tampak.

Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak mereka bekerja di daerah pesisir. Dalam kegiatan perikanan laut wanita nelayan berperan sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Di beberapa wilayah bahkan peranan wanita nelayan, juga sering menyentuh wilayah yang dianggap sebagai dunia kerja kaum laki-laki yaitu penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di daerah mangrove Teluk Bintuni Papua. Peran produktif ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reproduktif atau domestiknya. Hasil kajian Widaningroem dkk. (1998) di pantai selatan Yogyakarta menunjukkan bahwa walaupun peran reproduktif yang dilakukan oleh wanita seperti membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan mencapai angka 80% dari alokasi waktu setiap harinya, ketika mereka melakukan aktivitas produktif di pesisir, peran tersebut ditinggalkan sementara dan diserahkan kepada kepada anak atau ibu/nenek mereka. Kontribusi nelayan ini terhadap pendapatan keluargapun, dapat mencapai separuh dari pendapatan suami.

Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seharusnya memperhatikan kondisi wanita maupun pria atau bersifat gender sensitive. Peran wanita dapat dioptimalkan apabila faktor penghambat yang melingkupinya teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak dari kaum pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar mendasarkan pada kebutuhan kaum wanita, padahal mereka bekerja pada dua fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif. Pengembangan program pembangunan yang tidak bias gender memiliki arti yang sangat penting di daerah pesisir disebabkan tidak hanya karena secara kuantitatif jumlah kaum wanita lebih banyak, tetapi karena peran wanita nelayan yang sangat strategis. Partisipasi wanita dalam berbagai aktivitas produktif di pesisir juga telah banyak terbukti mampu mempertahankan keberlanjutan ekonomi rumah tangga nelayan. Kesempatan peran wanita nelayan juga memiliki peluang yang cukup baik karena suami mereka memiliki kebiasan yang baik yaitu menyerahkan hasil usaha melaut mereka kepada kaum wanita dan sekaligus memberikan kepercayaan kepada wanita untuk mengelola keuangan tersebut. Hal ini tentunya menjadikan wanita lebih mandiri dan berani memutuskan hal-hal penting bagi keluarga dan dirinya. Dukungan internal tersebut akan lebih optimal jika program-program intervensi oleh pemerintah juga menyentuh kaum wanita nelayan.

Berbagai program pembangunan ke depan perlu menyediakan kesempatan kepada wanita nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran wanita nelayan dalam pembangunan pesisir hanya dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayaan perempuan ke dalam kebijakan nasional, propinsi atau kabupaten/kota baik pada ranah perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah mudah dilakukan jika tidak didukung adanya kesadaran dan kepekaan para pengambil kebijakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh program-program yang dapat menjamin keterlibatan para wanita.

Pembagian peran yang sejajar khususnya dari aspek ekonomi perikanan dimana wanita yang mengurusi pasca panen dan pemasaran hasil perikanan termasuk pengawetan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil, sementara pria pada aspek produksi melalui kegiatan penangkapan ikan dapat menjadi salah satu cara mendorong partisipasi wanita yang lebih baik. Peran ini didasari pada berbagai kesulitan dalam kegiatan produksi perikanan laut. Penguatan aspek pasca panen dan pemasaran tidak hanya bermakna bagi para wanita nelayan, tetapi aktivitas perikanan secara keseluruhan karena aspek ini menjadi titik terlemah kegiatan produksi perikanan. Program penguatan dapat dilakukan misal melalui penguatan kelembagaan usaha berbasis kelompok. Penguatan ini memiliki makna positif karena dapat memperkuat bargaining position para wainta terhadap pesaing yang umumnya kaum pria dengan modal yang lebih besar, mempermudah akses terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi. Pada akhirnya, pengembangan program pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan yang terpadu dengan kegiatan lainnya seperti wisata bahari merupakan peluang besar bagi aktualasisasi peran wanita nelayan.
___

Penulis: Suadi
Dosen Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada
e-mail: suadi@ugm.ac.id

Dilema: Produsen Tuna dan Udang, Konsumen Lele




Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, disusul Filipina (11,36%), Jepang (10,23%), Taiwan (8,3%), dan Korea (6,1%). Produksi tuna sendiri pada tahun 2011 sebesar 230.580 ton. Selain tuna, data FAO 2010 juga menunjukkan Indonesia merupakan produsen terbesar keempat dalam produksi udang dengan 350.000 ton, berada di bawah Cina (1,3 juta ton), Thailand (560.000 ton) dan Vietnam (370.000 ton). Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia merupakan produsen besar tuna dan udang di dunia.

Sementara itu, data KKP 2011 menyebutkan jumlah produksi lele mencapai 330.687 ton dengan peningkatan rata-rata sebesar 39,66% disetiap tahunnya. Program budidaya lele yang digembor-gemborkan nampaknya cukup berhasil dengan peningkatan jumlah produksi yang signifikan. Ditinjau dari aspek gizi pangan, protein lele 17,7% lebih rendah dibandingkan tuna 24,3% dan udang 21%. Belum lagi kandungan omega 3 pada tuna dan udang yang bermanfaat penting bagi tubuh.

Penyebab utama peningkatan produksi ikan lele adalah meningkatnya permintaan ikan lele diberbagai daerah. Hasil SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa penyerapan ikan lele masyarakat Indonesia mencapai 148.039 ton dengan tingkat konsumsi rata-rata 0,67 kg/kapita/tahun. Harga yang murah, nilai gizi yang cukup tinggi dan teknik budidaya yang relatif mudah menjadi faktor utama pesatnya perkembangan lele di Indonesia.

Berdasarkan data diatas, munculah beberapa pertanyaan yang memberikan suatu dilema tersendiri. Sebagai produsen terbesar tuna dan udang di dunia, masyarakat Indonesia sendiri jarang menikmati produk tuna dan udang tersebut. Namun di lain pihak, ikan lele yang baru akan dikembangkan memiliki cukup banyak permintaan. Rupanya, produk olahan berupa pecel lele menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Permintaan Luar Negeri
Sebagai negara produsen tuna dan udang, tentu banyak permintaan dari luar negeri. Permintaan terbesar akan tuna Indonesia adalah Jepang (36,84%), Amerika (20,45%), dan Uni Eropa (12,69%). Sementara itu, kinerja ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Pada 2009, nilai ekspor tuna USD 352 juta, lalu meningkat menjadi USD 383  juta pada 2010. Sementara itu, nilai ekspor tuna tahun 2011 sebesar 141.774 ton senilai USD 499 juta naik 30,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Dengan produksi pada tahun 2011 yang mencapai 230.580 ton, menunjukkan lebih dari 60% produksi tuna di Indonesia dipasarkan di luar negeri.

Permintaan luar negeri terhadap komoditi udang juga besar. KKP mencatat volume ekspor udang pada tahun 2010 sebesar 110.000 ton, yang terdiri dari jenis udang vannamei dan windu, dengan nilai ekspor mencapai USD 1,070 miliar. Nilai ekspor udang yang besar terjadi berkat adanya added value (nilai tambah) sehingga meningkatkan harga jual udang. Dengan produksi udang tahun 2010 yang mencapai 350.000 ton, menggambarkan bahwa lebih dari 30% produksi udang nasional ditujukan untuk pasar luar negeri. Namun, perlu diketahui bahwa udang yang ditujukan untuk ekspor merupakan udang yang memiliki nilai jual lebih dan nilai tambah dibandingkan udang yang dipasarkan di pasar lokal.

Pada tahun 2013 ini, KKP sendiri menargetkan adanya peningkatan nilai ekspor produk perikanan. Udang tetap menjadi salah satu komoditas unggulan yang diproyeksikan mencapai USD 1,9 miliar, diikuti tuna USD 720 juta, kepiting USD 379 juta, produk perikanan lainnya mencapai USD 541 juta. Peningkatan nilai ekspor memang akan turut serta dalam peningkatan sumber devisa Indonesia. Namun, di satu sisi masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kenikmatan akan kekayaan alam laut yang ada di negeri ini.

Berdasarkan pendapatan yang akan didapat, kebijakan ekspor produk perikanan memiliki potensi yang jauh lebih besar. Harga jual di pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar lokal. Hal ini yang menyebabkan para pedagang maupun pemasok udang dan tuna lebih cenderung memilih menjualnya ke industri pengolahan ataupun eksportir. Permintaan yang besar dan harga jual yang tinggi menjadi daya tarik utamanya. Sementara itu, pasokan untuk kebutuhan nasional seperti dinomorduakan.

Kebijakan terkait ekspor udang dan tuna sebagai produk unggulan dari potensi laut Indonesia sebenarnya juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Semakin ketatnya persaingan antar negara produsen udang dan tuna, ditambah sedang goyahnya kondisi ekonomi di negara tujuan ekspor perlu diperhatikan pemerintah dan para pelaku yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dalam hal ini, pasar lokal memiliki potensi besar untuk dimasuki seiring dengan semakin sadarnya masyarakat Indonesia akan produk pangan yang bergizi dan bernilai tinggi.

Selama ini, produk perikanan yang dijual dan dipasarkan di pasar lokal merupakan produk yang nilai jual ekspornya tidak begitu besar. Bahkan, kebanyakan merupakan produk kelas dua. Udang dan tuna jarang ditemui di pasar-pasar lokal. Meskipun ada, kebanyakan dari udang dan tuna yang dipasarkan merupakan produk yang nilai ekspornya rendah. Jenis udang yang dijualpun merupakan jenis udang selain vannamei dan windu, sedangkan tuna  yang dijual adalah jenis baby tuna. Dilema dalam kejadian ini adalah terhambatnya hak warga negara Indonesia untuk menikmati produk-produk perikanan unggul yang memiliki nilai tinggi.

Promosi dan Daya Beli Masyarakat
Tingkat konsumsi ikan yang masih rendah merupakan salah satu alasan lesunya permintaan di pasar lokal. Meskipun ada peningkatan di tahun 2011 menjadi 31,64 kg/kapita/tahun, tetapi masih lebih rendah dari Malaysia 45 kg/kapita/tahun dan Thailand 35 kg/kapita/tahun. Program Gemarikan yang dicanangkan pemerintah, selain untuk memacu peningkatan konsumsi ikan sepatutnya juga digunakan untuk mengenalkan produk perikanan Indonesia yang memiliki nilai unggul. Hal ini secara langsung juga akan mendukung salah satu kebijakan strategis KKP terkait promosi produk perikanan industri, seperti udang dan tuna.

Pemerintah dan pelaku industri perikanan, terutama udang dan tuna, sewajarnya tidak perlu takut memasuki pasar lokal. Daya beli masyarakat dan kesadaran pentingnya produk perikanan berkualitas menjadi kekuatan tersendiri di pasar lokal. Data BPS 2011 menyebutkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat meningkat 32% atau mencapai USD 3.542. Peningkatan pendapatan per kapita yang melebihi laju inflasi akan meningkatkan daya beli masyarakat. Bahkan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) menyatakan permintaan udang dan tuna di supermarket bisa mencapai 100-150 kg/hari dan di hypermarket bisa mencapai 25 ton/bulan, itupun belum jenis yang lainnya.

Selain itu, masyarakat sendiri juga harus semakin sadar akan pentingnya konsumsi produk perikanan yang bernilai tinggi. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak olahan pangan yang berbahan dasar ikan tuna dan udang. Seperti halnya lele yang identik dengan pecel lele, pengolahan tuna dan udang perlu digencarkan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri.

Jepang, sebagai pengimpor tuna terbesar, membutuhkan tuna dan udang untuk memenuhi kebutuhan produsen produk pangan olahan. Berbagai makanan khas Jepang menggunakan daging ikan tuna, seperti sushi, sashimi, ekkado ataupun onigiri sehingga munculah kebiasan mengkonsumsi tuna dan udang. Hal inilah yang perlu ditiru, permintaan dalam negeri akan meningkat apabila banyak produk olahan yang berbahan dasar tuna dan udang. Munculnya berbagai macam usaha produk pangan seperti steak tuna, sushi, abon tuna, udang gulung, nugget, bakso, martabak dan lain sebagainya perlu didukung keberadaanya.

Peningkatan promosi dan kebutuhan akan ikan tuna dan udang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Adanya kerjasama dan kesinambungan antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan persepsi baru, yaitu bangsa Indonesia tidak hanya mampu menghasilkan, tetapi mampu memanfaatkan dan menikmati kekayaan sumber alam kelautannya.

---
Penulis: Hario Premono
Ketua Komunitas Mahasiswa Peneliti “SiLandak” Jurusan Perikanan, UGM
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Trobos Aqua April 2013

Thursday, October 2, 2014

STIKi : Stick Ikan Renyah dan Bergizi!

Ketergantungan mata pencaharian terhadap cuaca menyebabkan rendahnya pemasukan nelayan. Pendapatan rata-rata nelayan di Yogyakarta berada di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp10.111.333,-/tahun. Di Pantai Sadeng sendiri, salah satu pantai pelabuhan yang terletak di ujung timur Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, rata-rata pendapatan nelayannya hanya mencapai Rp8.400.000,- sampai dengan Rp12.000.000,- per tahun. Di sisi lain, sebagai kaum marjinal di pesisir, para nelayan hanya memiliki keterampilan melaut. Sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menambah nilai pada hasil tangkapan.

Begitu pula dengan istri para nelayan, atau biasa disebut dengan wanita nelayan, yang sehari-hari hanya melaksanakan peran reproduksi saja. Keadaan seperti ini pada akhirnya berdampak pada ekonomi rumah tangga nelayan dan menyebabkan istri nelayan menjadi korban. Istri nelayan harus mencari hutang dan menggadaikan barang-barang saat suaminya tidak melaut (Pamela, 2012). Masalah finansial ini dapat memberi pengaruh negatif pula terhadap pendidikan anak, pemenuhan gizi keluarga, hingga pertengkaran dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar sebagai penghasil komoditi perikanan dunia, terutama ikan tuna. Pantai Sadeng termasuk dalam salah satu kawasan laut penghasil komoditas tuna terbanyak di Indonesia. Data dari laporan tahunan PPP Sadeng (2010), hasil tangkapan ikan selama tahun 2005-2009 meningkat antara 11,82% sampai dengan 40,67% tiap tahunnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua produksi perikanan dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia, karena untuk beberapa jenis ikan memiliki pasar ekspor yang sangat baik, sehingga sebagian besar produksinya langsung diekspor.

Sejalan dengan itu, menurut Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) Karya Lestari, Ni Made Putriningsih Wirna, usaha pengolahan hasil perikanan adalah kegiatan yang sangat strategis dan menguntungkan, karena di samping jenis ikan sangat banyak, jenis olahannya pun sangat beragam (Yasin, 2013). Gary Stibel, CEO New England Consulting Group (NECG), menyatakan bahwa makanan ringan adalah trend makanan jangka panjang dan masa depan pangan (Stibel, Topsy, 2012). Wakil presiden pemasaran dan penjualan Rudoph Foods, Mark Singleton, menambahkah bahwa makanan ringan yang kini berpotensi untuk dikembangkan adalah makanan ringan sehat dengan pilihan rasa yang unik (Toopsy, 2012).

Stick Ikan Tuna dibuat oleh Wanita Nelayan Sadeng Mina Raharjo
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan peran wanita nelayan agar dapat menjadi solusi alternatif meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir dan menggalakkan diversifikasi produk perikanan, STIKi (Stik Ikan) hadir sebagai olahan pangan sehat yang gurih, lezat, menyehatkan, dan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.

 

Subscribe to our Newsletter

Contact

Email us: tresna.iwak@gmail.com

Our Team Members